Kenapa Aplikasi Premium Berbasis Langganan Bikin Kita Boros?

Pernahkah Kamu melihat komentar mencurigakan yang menawarkan akun premium murah di tengah berita viral? Ternyata, ada sisi gelap dan trik licik di balik bisnis ini. Yuk, temukan bagaimana para pelaku bermain dengan celah sistem, apa risikonya bagi pengguna, dan kenapa langganan aplikasi sering terasa mahal tapi tetap kita bayar. Artikel ini akan mengupas semuanya hingga tuntas!

Ketika ada postingan berita heboh di sosmed, pasti ada saja imposter di antara ribuan komentar tersebut. Biasanya, imposternya adalah sales aplikasi premium, seperti akun Netflix atau Spotify, dengan kalimat template seperti, “Wah, beritanya heboh ya. BTW, akun Netflix murahnya, Kakak.”

Hal ini memunculkan pertanyaan: bagaimana skema bisnisnya? Kenapa bisa lebih murah? Sekaligus menyoroti betapa kapitalisnya sistem monetisasi berbasis langganan ini. Kali ini, kita bahas secara santai.

Yang dijual sangat sederhana: aplikasi premium. Sistem monetisasi berbasis premium upgrade memang sudah menjadi skema bisnis banyak aplikasi, baik di perangkat HP maupun PC. Ketika pengguna melakukan upgrade, tentu banyak privilege yang bisa didapatkan, yang tidak bisa dinikmati pengguna gratisan.

Namun, membeli premium upgrade langsung dari aplikasi seringkali mahal. Harga ini dipengaruhi pajak dan nilai tukar mata uang, sehingga menjadi peluang bagi para pelaku bisnis untuk menawarkan harga lebih murah.

Sama seperti toko top-up game, para penjual nonresmi aplikasi ini menawarkan harga yang lebih rendah dibandingkan harga resmi. Bedanya bahkan bisa signifikan. Salah satu teori yang sering muncul adalah para seller membeli fitur premium di negara lain yang memiliki kurs mata uang lebih rendah. Namun, ternyata ada cara lain yang lebih praktis dan sering digunakan, yaitu sharing account.

Aplikasi premium yang sering dijual para seller, seperti Netflix dan Spotify, biasanya memiliki sistem paket keluarga, dengan 4-6 akun dalam satu langganan. Seller membeli paket keluarga ini (terkadang dengan diskon), lalu menjual akses akun-akunnya ke pembeli.

Setiap pembeli akan mendapatkan akses ke salah satu akun dalam paket tersebut, tetapi dengan peringatan untuk tidak membuka akun lain agar tidak terjadi tabrakan login. Ketika satu email sudah penuh, seller akan membuat email baru untuk menjual akun berikutnya.

Dari segi harga, paket keluarga memang jauh lebih murah dibandingkan membeli akun individu. Misalnya, jika harga akun individu adalah Rp50.000 per bulan, paket keluarga untuk 4 akun bisa saja hanya Rp150.000. Dari selisih harga ini, seller menentukan margin keuntungan.

Metode sharing account ini memiliki banyak risiko, terutama dalam jangka panjang. Misalnya, Netflix pernah menyalahkan praktik ini sebagai salah satu alasan penurunan pendapatan mereka pada tahun 2022. Sebagai respons, Netflix menerapkan regulasi baru: sharing account hanya diperbolehkan untuk pengguna dalam satu rumah.

Namun, para seller tetap mencari cara untuk mengakali regulasi ini, meskipun hal ini membuat akun premium pembeli menjadi tidak aman. Risiko lainnya termasuk pencurian data, carding, dan penipuan lainnya.

Di luar masalah seller, fenomena subscription economy juga patut disoroti. Banyak aplikasi kini lebih memilih sistem langganan dibandingkan penjualan sekali bayar. Dari sisi developer, sistem ini lebih menguntungkan karena menjamin pendapatan bulanan.

Namun, bagi konsumen, sistem ini bisa menjadi "kebocoran" pengeluaran, terutama jika langganan tidak dimanfaatkan secara maksimal. Misalnya, jika kita membayar Rp70.000 per bulan untuk aplikasi streaming tetapi jarang menggunakannya, nilai yang didapatkan menjadi tidak sebanding dengan harga yang dibayar.

Industri jual beli akun aplikasi premium murah ini penuh dengan pertanyaan soal legalitas dan keamanan. Di sisi lain, sistem langganan resmi juga menuntut konsumen untuk cermat memanfaatkan layanan agar sesuai dengan harga yang dibayarkan. Jika kalian memiliki pendapat lain tentang topik ini, silakan komen.